Menulis

Minggu, 13 Maret 2011

ADA APA DENGAN RSBI/ BI JAMBI (Pondok Meja)


Sejak kemunculannya, trend sekolah (pendidikan) RSBI/ BI (Rintisan Sekolah Berstandar Internasional/ Berstandar Internasional), sekolah nasional plus, dan lain sebagainya, sudah memunculkan kontroversi. Boleh jadi ini, menunjukkan betapa tidak dipahaminya makna pendidikan nasional. Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 pasal 50 ayat 3 tentang pendirian sekolah internasional, memang ada ketentuan yang menetapkan perlunya standar nasional pendidikan dengan tujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan dan sumber daya manusia Indonesia agar dapat bersaing secara global dan internasional.
Pada saat yang sama ada ketentuan agar pemerintah dan pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf  internasional. Pemaknaan ini memunculkan semangat primodialisme, gengsi untuk segera membuat dan membentuk sekolah-sekolah dimaksud, agar tidak ketinggalan dan prestise bagi pemegang kebijakkan di daerah.
Kebijakkan tersebut, menyebabkan muncul “ego/ latah RSBI” pada sekolah-sekolah yang belum memiliki status RSBI. Seluruh sekolah, berkeinginan menjadi RSBI walaupun daya dukung tidak memungkinkan sama sekali (kurikulum, siswa, guru, dan sarana prasarana). Indonesia Corruption Wacth (ICW) mengemukakan konsep RSBI sangat tidak Indonesia. Boleh jadi benar apa yang dikemukakan Prof. Soedijarto yang mengatakan “dalam masyarakat pendidikan muncul rasa rendah diri masyarakat Indonesia (mungkin mental Inlander)”. Mengapa demikian ? Boleh jadi, akibat terlalu lama dibawah cengkeraman penjajah dan boleh jadi juga akibatnya memunculkan budaya ini. Tidak pernah bangkit untuk lebih percaya diri (bangga) mendandani/ menyempurnakan sistem pendidikan yang berbasis Indonesia dan memanfaatkan kearifan lokal, serta bisa jadi, sistem pendidikan yang terlalu mengadopsi sistem pendidikan dari negara penjajah.
Standar RSBI/ BI
Ada beberapa standar yang harus dipenuhi sekolah/madrasah untuk menjadi RSBI/ BI antaranya: a).             Terakreditasi A; b).  Memiliki dana yang cukup; c). Lahan minimal 10 ribu meter persegi; d). Akses jalan mobil ke sekolah; e). Kompetensi kepala sekolah harus minimal S2 dan mampu berbahasa asing aktif (profesional dalam manajemen, kepemimpinan, organisasi, administrasi, dan kewirausahaan); f). Kompetensi guru bidang studi serta menguasai ICT dan bahasa Inggris; g). Pendidikan guru S2/S3 minimal 30%; h). Tersedia sarana memadai berupa: sarana pembelajaran bertaraf TIK di setiap ruang kelas, Laboratorium IPA (Kimia, Fisika, Biologi), Laboratorium komputer, Perpustakaan yang dilengkapi dengan sarana digital sehingga dapat terakses ke sumber pembelajaran bertaraf TIK di seluruh dunia, faslitas olah raga, Internet, ruang multi media, ruang unjuk seni budaya, klinik, Web sekolah, Kultur sekolah kondusif (bersih, bebas asap rokok dan kekerasan, indah, dan rindang); i). Standar kelulusan lebih tinggi (Kurikulum yang digunakan harus dikembangkan (inovasi) agar memenuhi isi Standar Nasional Pendidikan serta adopsi/ adaptasi kurikulum beberapa sekolah dari dalam atau luar negeri yang memiliki keunggulan dan reputasi di forum internasional); j). Menjalin hubungan dengan sekolah di luar negeri (sister school); k) Manajemen sekolah juga harus berstandar ISO 9001:14000.
Tidak kalah pentingnya adalah proses penjaringan siswa harus dengan seleksi ketat melalui tahapan; saringan rapor, ujian akhir sekolah, scholastic aptitude test (SAT), kesehatan fisik, dan wawancara. Siswa harus memiliki kecerdasan yang unggul, meliputi kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual, dan berbakat.
Proses pembelajarannya menerapkan sistem keterbukaan dan demokratis sehingga mampu menumbuhkembangkan kreativitas, inovasi dan daya nalar siswa. Proses pembelajaran juga harus dengan pendekatan multiple Intelegences dengan mengembangkan kemampuan/ kecerdasan yang meliputi: IQ, EQ dan SQ. Bahasa pengantar pembelajaran adalah Bahasa Indonesia dan Bahasa Asing (khususnya Bahasa Inggris), serta menggunakan media pendidikan yang berteknologi tinggi dan dapat menanamkan dan menerapkan nilai, norma, dan etika serta berorientasi pada “Smart and Good”.
Dampak RSBI/ BI
Pembukaan sekolah berlabel RSBI/ BI sudah pasti menimbulkan sifat eksklusif. Kekhas ini akan menimbulkan kesenjangan sosial yang begitu lebar antara siswa yang berada di sekolah RSBI/ BI dan sekolah reguler. Secara sosial, situasi semacam ini jelas sangat tidak menguntungkan dunia pendidikan kita yang harus melahirkan anak-anak masa depan yang memiliki kecerdasan, baik secara intelektual, spiritual, emosional, maupun sosial.
Selain dari pada itu, pendirian RSBI/ BI memberikan kesan terjadi privatisasi pendidikan. Artinya pemerintah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke stackholder (pasar). Akibatnya, sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Imbasnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.
Apakah pendidikan berkualitas memang mahal ? Pada hal setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan; setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya, (pasal 31 UUD 1945). Mungkin sekolah harus mengutamakan siswa miskin di daerah masing-masing.
Ide
Mencermati hal-hal tersebut di atas, sudah siapkan RSBI/ BI Pondok Meja ? Kalau kita mau jujur, RSBI/ BI Pondok Meja masih jauh dari standar yang sudah ditetapkan. Mungkin benar apa yang dikatakan peneliti senior ICW, Ade Irawan, hadirnya RSBI lebih diawali hanya untuk kepentingan proyek. Karena RSBI adalah proyek, dan pasti akan berhenti jika uangnya habis. Untuk itu, alangkah lebih bijak, arif dan mari bersama-sama mengevaluasi keberadaan sekolah ini. Sudahkah memenuhi standar sebagaimana tersebut di atas? Dalam memandang program pemerintah ini juga banyak mengundang pro dan kontra baik di kalangan pendidikan maupun masyarakat.
Menilik pembangunan dengan menghamburkan dana yang sangat fantastis sebesar Rp 43 miliar, ditambah subsidi dana dalam satu tahunnya untuk satu orang anak mendapatkan Rp 60 juta. Artinya dalam tiga tahun sekitar Rp 24 miliar APBD akan tersedot untuk biaya anak-anak ini ditambah lagi dengan status sekolah yang tidak jelas. Mungkin ada baiknya ditunda dahulu pengoperasian sekolah ini, hingga betul-betul siap seperti yang dipersyaratkan. Siswa yang sudah terlanjur terjaring, limpahkan ke sekolah yang telah terakreditasi A dan berlabel RSBI. Lebih melengkapi sarana prasarana sekolah yang telah mendapat sertifikat RSBI/ BI.
Kedepan siswa yang bersekolah di RSBI berbiaya tinggi ini dengan doktrin globalisasi lewat bahasa pengantar berlabel internasional, perlu diberikan nilai-nilai kearifan lokal yang langsung bersentuhan dengan akhlak dan keluhuran budi. Karena menurut Suyanto dalam Nurkolis (2002), program RSBI di Indonesia secara pedagogis menyesatkan, bahkan ada yang telah memasuki wilayah malpraktik dan akan merugikan pendidikan kita dalam jangka panjang. Kelas-kelas unggulan diciptakan dengan cara mengelompokkan siswa menurut kemampuan akademisnya tanpa didasari filosofi yang benar. Pengelompokan siswa ke dalam kelas-kelas menurut kemampuan akademis tidak sesuai dengan hakikat kehidupan di masyarakat.
Jika melihat berbagai negara lain, pembaharuan pendidikan nasionalnya bukanlah untuk menjadi bertaraf internasional, melainkan untuk menjadikan pendidikan nasional yang mutunya dapat bersaing dengan negara-negara lain. Malaysia akan menghapus bahasa pengantar berlabel internasional dan Jepang melarang penggunaan bahasa berlabel internasional digunakan di kelas dan media Koran. Mungkin kita dapat bercermin pada kedua negara tersebut, yang sangat bangga dengan bahasa bangsa dan negaranya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar