Menulis

Minggu, 13 Maret 2011

TANTANGAN GURU PROFESIONAL


Dampak globalisasi membawa perubahan besar dalam sendi-sendi kehidupan. Pergaulan mendunia, semua informasi bisa diperoleh/diakses dengan sangat mudah sebagai akibat dari perkembangan teknologi informasi. Apa yang terjadi dibelahan daerah, provinsi, Negara lain dapat diperoleh saat itu juga karena tidak terbatasi lagi oleh ruang dan waktu.
Ekses revolusi teknologi informasi ini, juga melanda dunia pendidikan akan berdampak pada pola hubungan guru - siswa, dan sistem pendidikan secara keseluruhan. Revolusi teknologi informasi menuntut kemampuan guru harus dapat menggunakan/menguasainya sebagai alat mencapai tujuan pendidikan dan bukan sebaliknya justru menjadi penghambat. Peranan sekolah dan guru yang selama ini, menjadi satu-satunya lembaga pendidikan dan pusat sumber pembelajaran tergeser kalau tidak mau dikatakan tergantikan. Sedangkan peran dan fungsi sekolah mengembangkan kepribadian, pembinaan hubungan sosial, rasa kebersamaan, toleransi, dan sosial tidak tergantikan.
Perubahan-perubahan dan tantangan yang semakin besar dan kompleks ini, menuntut lembaga pendidikan (guru) untuk mengantisipasinya. Salah satunya dengan peningkatan professionalitas/kualitas guru.
Tugas dan Tantangan Guru profesional
Tidak dapat dipungkiri, bahwa masa depan suatu daerah, negara sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya manusianya. Peningkatan kualitas sumber daya manusia sangat ditentukan oleh kualitas pendidikan. Untuk memajukan kualitas pendidikan, guru mempunyai peran yang sangat besar dan strategis. Guru harus mengedepankan profesionalitasnya dalam mengajar dan mendidik.
Menurut Surya (2003) guru yang profesional harus menguasai kompetensi/keahlian dalam kemampuan materi keilmuan dan ketrampilan metodologi. Guru juga harus memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi atas pekerjaannya baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, bangsa dan negara, lembaga dan organisasi profesi.
Tuntutan kompetensi/keahlian seorang guru memiliki dua sisi kemampuan personal; memiliki keunggulan kompetitif (competitive adventage), sisi lain juga mempunyai keunggulan komparatif (comparative adventage). Keunggulan kompetitif ini menuntut profesional untuk menguasai kompetensi inti (core competence). Kompetensi inti adalah segenap kemampuan yang meliputi; keunggulan dalam penguasaan materi ajaran (subject matter) dan keunggulan dalam penguasaan metodologi pengajaran (teaching method).
Sedangkan di dalam undang-undang Guru dan Dosen kompetensi meliputi; kompetensi profesional, kompetensi pedagogik, kompetensi pribadi dan kompetensi sosial. Persyaratan kompetensi ini, penguasaan materi ajaran, penguasaan metodologi pengajaran yang selalu disesuaikan dan dikembangkan dengan perkembangan zaman.
Hal tersebut di atas, merupakan kompetensi standar yang harus dikuasai, sedangkan kompetensi/keahlian yang bersifat khusus seperti; tingkat pendidikan minimal, dan sertifikasi keahlian haruslah dinyatakan sebagai prasarat untuk menjadi guru profesional.
Satu tantangan lagi akan diberikan pemerintah yaitu akan mengurangi jam mengajar dari 42 jam menjadi 32 jam seminggu. Kebijakan ini diambil karena selama ini materi pembelajaran siswa dinilai terlalu berat sehingga tidak ada ruang bagi guru berkreasi (di tuntut menyelesaikan kurikulum. Begitu juga siswa tidak memiliki ruang waktu untuk mengembangkan diri (berkreasi). Dengan demikian, kedepan guru dapat mengajarkan siswa untuk mampu belajar sendiri, berpengetahuan dan kompeten, mencipta, dan sehat kepribadian sehingga dalam menjalani kehidupannya lebih berani dan percaya diri serta tidak hanya menekankan untuk mendapatkan nilai-nilai ujian yang sempurna saja.
Tantangan bagi guru kedepan adalah bagaimana menyikapi kemajuan teknologi informasi. Apakah perannya akan tergantikan ? Mungkin akan lebih bermakna, jika guru bersahabat/memanfaatkan dengan kemajuan teknologi informasi untuk menunjang perannya. Hal ini, untuk mengantisipasi konsep sekolah/madrasah dimasa depan yang tidak lagi memerlukan  bangunan-bangunan besar, sumber daya yang banyak. Bahan ajar tidak lagi diberikan secara klasikal, namun menjadi individual. Konsep sekolah/madrasah dimasa depan adalah “sekolah/madrasah maya”, akan memanfaatkan sumber belajar dengan fasilitas internet sehingga dapat diakses oleh siapapun.
Untuk menuju ke sekolah/madrasah maya, perlu suatu usaha untuk menyiapkan sistem pendidikannya agar tidak tertinggal dengan perkembangan dan kemajuan teknologi informasi. Butuh kecerdasan, kecermatan sekolah/madrasah dalam hal pemilihan dan penerapan teknologi informasi yang sesuai untuk pendidikan yang tepat, sehingga akan bermakna untuk perbaikan mutu pendidikan yang berkelanjutan dengan konsisten dapat berjalan secara dinamis.
Bagaimana guru menyikapi hal tersebut di atas, terlebih lagi jika kebijakkan pemerintah untuk mengurangi jam mengajar 42 jam perminggu menjadi 32 jam perminggu, karena hal ini membawa konsekuensi bagi guru untuk memenuhi jam wajib mengajar sebanyak 24 jam perminggu sesuai dengan tuntutan sertifikasi.

PERAN KEILMUAN PEREMPUAN (Menyonsong Hari Ibu Tahun 2010)


Persoalan perempuan telah memeroleh perhatian besar di seantero dunia saat ini. Dahulu di waktu yang lama perempuan tunduk sepenuhnya kepada laki-laki, khususnya dalam masyarakat patriarkhal, sementara kebanyakan masyarakat adalah patriarkhal. Jadi, selama berabad-abad, barangkali hampir disebut sebagai hukum alam, perempuan dipandang inferior di depan laki-laki dan kebanyakan mereka tunduk di bawah otoritas laki-laki.
Paradigma itu untuk kekinian telah bergeser seiring banyaknya cara pandang terhadap perempuan, bahkan dengan jelas Al-Quran, mempunyai semangat keadilan dan egalitarian, termasuk dalam menempatkan hubungan antara laki-laki dan perempuan. Hal ini berimbas pada penempatan dan partisipasi perempuan terbebas dari bias-bias gender dan sikap tidak mengakui kemampuan perempuan dalam bidang apapun.
Partisipasi perempuan dapat dilihat pada dua level, yaitu level human female (manusia perempuan) dan level feminis atau ideal women. Sebagai penganut Islam, pada level human female perempuan adalah muslimah, yang mengamalkan ajaran agamanya, melakukan ibadah yang bersifat ritual dan dijanjikan pahala nantinya. Sementara pada level ideal women perempuan adalah simbol kebaikan dan kasih Tuhan, sesuatu yang diidamkan semua perempuan. Dalam lapangan keilmuan, yang terakhir ini dimaksudkan sebagai perempuan yang berpengetahuan luas dan diakui karena keilmuannya.
Pandangan Islam
Fundamen intelektual dan kultural umat Islam tidak mungkin mengabaikan sentralitas posisi teks Al-Quran dalam dialektikanya dengan realitas. Pada titik ini, berbagai sikap terhadap keilmuan dalam Islam termasuk keilmuan perempuan, tidak dapat dilepaskan dari pergumulan kaum muslimin dengan Al-Quran.
'Ulama atau, bentuk personalnya, 'alim, secara etimologis berasal dari kata yang sama dengan 'ilm, 'alam, atau ma'lum. 'Ilm adalah pengetahuan yang teratur (systematic knowledge), 'alam adalah benda yang kita tangkap dengan pancaindra, dan ma'lum adalah mengetahui. Dari hubungan ketiga kata tersebut, dapat dipahami bahwa ilmu berkaitan dengan sesuatu yang diketahui atau dapat diketahui oleh manusia. Dengan kata lain, ilmu adalah pengetahuan manusia.
Di dalam Al-Quran kata 'ulama hanya disebutkan sebanyak dua kali, yaitu dalam surat al-Syu'ara dan al-Fathir. Sedangkan kata 'alim dalam Al-Quran disebutkan sebanyak 163 kali. Hampir semua kata ini merujuk pada Allah sebagai Yang Maha Mengetahui. Di dalam surat al-ankabut 'alim muncul setelah dipaparkan perumpamaan tentang sebuah rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba; yang dapat memahami perumpamaan tersebut hanyalah manusia yang mempunyai ilmu ('alim). Konteks penempatan dua ayat tersebut setidaknya menegaskan bahwa aktifitas keilmuan adalah mengamati, meneliti, observasi.
Dalam hadits, sangat populer diberitakan bahwa menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap muslim (penganut Islam laki-laki) dan muslimah (penganut Islam perempuan). Jelas sekali dalam hadits tersebut dibedakan antara muslim dan muslimah. Namun, meskipun dibedakan, keduanya mempunyai kewajiban sama untuk menuntut ilmu. Sehingga dapat disimpulkan dan ditegaskan bahwa untuk memeroleh ilmu, keduanya sama-sama berhak untuk memeroleh akses ilmu pengetahuan dalam bidang apa pun.
Mereka yang berilmu dan mau melakukan observasi alam disebut ulul albab. Istilah ini sama sekali tidak bias jender, misalnya menetapkan bahwa laki-laki saja yang bisa meraihnya, melainkan hanya mereka yang dapat melakukan observasi keilmuan semata, baik laki-laki maupun perempuan. Ini menunjukkan bahwa kecerdasan perempuan tidak lebih rendah dari kecerdasan laki-laki. Bahkan kecerdasan emosional (emotional quotient, EQ) yang muncul pada tahun 90-an sebagai kritik terhadap teori kecerdasan rasional (intellectual quotient, IQ), justru mengesankan kaum perempuan lebih potensial memilikinya.
         Human Female dan Ideal Woman
Pada masa turun wahyu, peran baca-tulis sangat besar artinya. Di antara sedikit penduduk suku Quraisy yang dapat baca-tulis, terdapat beberapa perempuan. Salah satunya adalah adik perempuan Umar. Jika memang kemampuan baca-tulis ketika itu sangat minim dan bisa dikatakan sebagai standar intelektualitas, maka telah ada ulama atau intelektual perempuan. Pada masa sebelumnya, pra-Islam, penyair yang mempunyai kedudukan tinggi dalam stratafikasi sosial masyarakat Arab juga terdapat perempuan. Bahkan di antara penyair perempuan ada yang masuk dalam kategori penyair mu'allaqat, yaitu al-Nabighah.
Pada masa pengumpulan wahyu, di antara yang mempunyai catatannya adalah Aisyah, Ummu Salamah, dan Hafsah. Menariknya, catatan wahyu Hafsah walaupun catatan personal, pada masa Usman digunakan sebagai salah satu sumber dalam kodifikasi Usman (mushaf usmani). Mushaf-mushaf perempuan ini menunjukkan betapa pada masa itu perempuan telah dipercaya memegang peran intelektual.
Peran-peran perempuan di atas jelas tidak sekadar peran keperempuanan semata (human female), melainkan lebih pada peran ideal women yang sejajar dengan laki-laki. Sebaliknya, di dalam keilmuan Al-Quran peran sebagai human female seringkali justru lebih mengarah ke persoalan-persoalan fiqh menyangkut pola relasi hubungan suami-istri, kesaksian perempuan, dan bahkan terkait dengan hal lain yang sebenarnya barangkali tidak terlalu perlu diperdebatkan, seperti penciptaan perempuan.
Walaupun pada masa berikutnya terjadi penurunan jumlah tetapi penurunan jumlah ini bukan berarti bahwa secara intelektual perempuan lebih rendah dari laki-laki atau adanya kelemahan dari yang mereka riwayatkan, melainkan lebih pada adanya faktor sosial-politik yang mempengaruhi. Seperti keberpihakan bangsa Arab yang juga diikuti sikap menganggap bahwa perempuan lebih rendah dan inferior dari laki-laki.
Padahal dalam konteks keilmuan, tidak ada pembatasan secara dogmatis dalam Islam tentang posisi perempuan. Dengan kata lain, dalam konteks keilmuan, Islam tidak mengenal istilah superior–inferior berdasarkan gender. Nilai-nilai Islam yang bersifat egaliter ini telah memungkinkan munculnya banyak ulama perempuan yang mengambil peran didalam pengembangan keilmuan. Terutama di masa-masa awal Islam ( masa Rasul dan para sahabat rasul ).
Kekinian Perempuan di Indonesia
Merefleksi dari penelusuran sejarah Islam di atas, maka pada kesempatan ini penulis mengajak kita semua umat Islam khususnya para intelektual muslim dan umumnya masyarakat intelektual Indonesia, untuk mereposisi kembali posisi perempuan dalam kaitannya dengan pengembangan keilmuan.
Sejarah perjuangan kaum perempuan Indonesia telah mencatat nama-nama perempuan yang turut andil dalam aktivitas politik. Perjuangan pisik melawan penjajah telah mengabadikan nama-nama seperti Cut Nyak Dien, Martha Tiahahu, Yolanda Maramis, dsb. Dalam pergerakkan nasional muncul nama Rasuna Said dan Trimurti. Sedangkan RA. Kartini dan Dewi Sartika, telah terpatri nama-nama mereka sebagai orang yang memperjuangkan hak-hak wanita untuk memperoleh pendidikan yang setara dengan pria.
Kemajuan perempuan yang dicapai bangsa Indonesia kini sungguh menggembirakan dan kita saksikan diberbagai profesi, fungsi dan posisi serta forum dan momentum, perempuan tampil mempesona dan mengagumkan, hal diatas didasarkan pada Instruksi Presiden RI No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional. Walaupun secara kualitatif Perempuan Indonesia belum secara proporsional mempengaruhi dan menentukan proses dan produk politik Indonesia, jika dilihat dari jumlah populasi perempuan berjumlah lebih dari 50% dari total penduduk Indonesia. Sehingga kedepan diharapkan perempuan yang selama ini lebih mementingkan masalah perannya dan terjebak oleh feodalisme dan kepentingan-kepentingan sesaat, serta kurang mampu melihat wawasan yang lebih luas, padahal banyak masalah yang sebenarnya harus segera ditangani dapat menyadarinya.
Tantangan ke depan yang masih cukup besar dan menghadang karena masih muncul perendahan martabat perempuan dikalangan masyarakat laki-laki seperti; perempuan dijadikan barang komoditi, pelampiasan nafsu, diperjual belikan, dipajang sebagai iklan atau promosi barang, dll. Atau boleh jadi kaum perempuan itu sendiri yang tidak menyadari akan dirinya seperti mengikuti tren kekinian dengan mode kuno atau primitive, karena alasan ingin mendapatkan uang, mereka menceburkan dirinya dalam dunia hitam, mencemarkan nama baiknya sendiri dengan menggugurkan anak kandungnya sendiri, dll.
Ditengah-tengah era reformasi dan globalisasi ini, tidak ada perbedaan laki-laki dan perempuan untuk sama-sama bertarung memainkan peran dalam merebut dan meraih kehidupannya yang layak. Sehingga kesetaraan Gender, di mana kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperolah kesempatan, partisipasi dan hak-haknya dalam berperan pada berbagai kehidupan IPOLEKSOSBUDHANKAM dan kesamaan menikmati hasil pembangunan dapat di akses, partisipasi, control dan bermanfaat.

MEMAKNAI HARI GURU KE 65


D
unia pendidikan Indonesia banyak hal dan fakta untuk dijadikan sebagai bahan komtemplasi (renungan), diantaranya data penilaian Human Development Index (HDI) tahun 2000 yang dipublikasikan oleh UNDP. Kualitas pendidikan yang punya korelasi dengan kualitas SDM punya urutan buruk. Kualitas SDM Indonesia menduduki urutan ke 109 dari 173 negara.[1] Dan menurut catatan Human Devolepment Report tahun 2003 versi UNDP, peringkat HDI (Human Development Index) atau kualitas sumber daya manusia Indonesia berada diurutan 112. Indonesia berada jauh di bawah Filipina (85), Thailand (74), Malaysia (58), Brunei (31), Korea Selatan (30) dan Singapura (28). Melihat kenyataan tersebut berarti ada yang yang harus dibenahi dalam sumber daya manusia Indonesia. Salah satu yang mempengaruhi rendahnya sumber daya manusia adalah faktor pendidikan.
Pendidikan adalah sebuah keniscayaan yang harus ditempuh setiap orang jika ingin mengembangkan diri memperoleh kemajuan. Salah satu permasalahan pendidikan yang dihadapi dewasa ini adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan. Sehingga tidaklah mengherankan kalau kadar, kualitas suatu bangsa sangat tergantung dengan kualitas pendidikan warganya. Standar untuk mengukur daya saing suatu bangsa paling tidak dipengaruhi oleh tiga hal penting; pertama, tingkat penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi suatu bangsa; kedua, kemampuan manajemen suatu bangsa; ketiga, kemampuan sumber daya manusia.[2]
Untuk meningkatkan daya saing, penekanannya adalah terhadap peningkatan mutu pendidikan baik dari segi proses maupun produk harus menjadi komitmen bersama antara pemerintah, masyarakat, dan orang tua peserta didik. Dan sebagai tolok ukur/ indikator peningkatan mutu pendidikan dapat diihat dari; hasil akhir pendidikan, hasil langsung pendidikan (merupakan titik tolak pengukuran mutu pendidikan), proses pendidikan, instrumen input, dan raw input[3]
Salah satu upaya peningkatan/ keberhasilan mutu pendidikan tidak terlepas dari kualitas guru. Guru merupakan orang yang seharusnya di gugu dan di tiru. Guru yang berkualitas akan menghasilkan siswa yang berkualitas pula. Guru bukan hanya orang yang berdiri mentransfer ilmu pengetahuan di dalam kelas. Guru bukanlah orang yang setiap harinya mengajar di kelas. Namun lebih dari itu, guru merupakan pendidik dan merupakan orang yang pantas menjadi panutan, teladan bagi semua elemen masyarakat.
Hal tersebut di atas, mengingatkan kita waktu Amerika membom Nagasaki dan Hirosima, Kaisar Jepang Hirohito, tiarap ke lantai. Konon, tidak lama kemudian berdiri tegak. Kalimat pertama yang ia ucapkan dengan penuh emosi adalah "Berapa guru yang masih hidup?" Kita akan segera bangkit kembali dan menjadi bangsa yang terhormat di muka bumi.
Fragmen tersebut menjelaskan bahwa tugas dan peran guru dalam pemberdayaan (empowerment) sangat penting dalam peningkatan mutu pendidikan. Indonesia memberi gelar kehormatan bagi guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Gelar ini bermakna bahwa pekerjaan guru itu tidak mudah. Pekerjaan guru merupakan sebuah panggilan, namun di negeri ini pekerjaan guru masih dipandang rendah, kurang dihormati sehingga penyiapan tenaga guru mulai dari tingkat SLTA hingga ke LPTK terkesan asal-asalan.
Hari ini, tanggal 25 November 2010, para guru (PGRI) berulang tahun. 65 tahun perayaan ulang tahun guru rutin setiap tahun diselenggarakan. 65 tahun jika diukur dari usia manusia, merupakan usia manula. Para guru haruslah bijaksana, mampu menjalankan program kerjanya dan meningkatkan kinerja untuk menjadi guru profesional yang berkarakter baik. Guru profesional dan berkarakter baik akan menularkan kepada siswa didiknya.
Sebagaimana termaktub pada pasal 39 Ayat 2 UU No. 20 tahun 2003 tentang sisdiknas menyatakan bahwa: "pendidik merupakan tenaga profesional" kedudukan guru sebagai tenaga profesional mempunyai visi terwujudnya penyelenggaraan pembelajaran sesuai dengan prinsip-prinsip profesionalitas untuk memenuhi kebutuhan yang sama bagi setiap warga negara dalam memperoleh pendidikan yang bermutu. Guru yang profesional akan menghasilkan murid yang profesional juga, jadi dalam hal ini memang guru dituntut untuk profesional.
Guru profesional akan selalu punya: energi untuk siswanya; tujuan jelas untuk pelajaran; keterampilan mendisiplinkan yang efektif; keterampilan manajemen kelas yang baik; kiat berkomunikasi dengan baik orang tua; harapan yang tinggi pada siswanya; pengetahuan tentang Kurikulum; pengetahuan tentang subyek yang diajarkan; kemampuan memberikan yang terbaik  untuk anak-anak dan proses pengajaran; hubungan yang berkualitas dengan siswa[4].
Pemerintah dalam upaya memberikan penghargaan kepada guru, mulai dari jenjang pendidikan dasar sampai pendidikan menengah, dengan pemberian sertifikat pendidik dan memaksimalkan fungsi dan peran strategis guru yaitu penegakan hak serta kewajiban guru sebagai tenaga profesional, pembinaan dan pengembangan profesi guru, perlindungan hukum, perlindungan profesi, perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.
Sertifikat pendidik tersebut merupakan pengakuan atas kedudukan guru sebagai tenaga profesional. Dalam melaksanakan tugasnya, guru harus memperoleh penghasilan di atas kebutuhan minimum sehingga memiliki kesempatan untuk meningkatkan kemampuan profesionalnya. Dengan adanya sertifikasi guru diharapkan adanya peningkatan kualitas guru.
Memperkuat pemberian penghargaan kepada guru pemerintah dan DPR mengesahkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Undang-Undang ini merupakan landasan hukum yang memberikan jaminan akan hak asasi dan profesi guru dan dosen sebagai insan pendidikan. Kehadiran undang-undang tersebut diharapkan akan mewujudkan kinerja guru yang professional, berkarakter dan sejahtera serta terwujudnya pendidikan nasional yang bermutu.
Guru berkarakter baik akan mampu melakukan pendekatan dalam proses pembelajaran. Pendekatan ini sebagai kehendak untuk menempatkan manusia sebagai titik sentral pembangunan (human centered development) dan usaha menghasilkan lulusan yang populis, Islami, dan berkualitas.[5] Lulusan yang berkualitas dapat diartikan sebagai lulusan yang memiliki kompetensi/kemampuan dasar dalam program studi yang dipelajarinya, serta memiliki kualifikasi akademik sesuai jenjang pendidikannya.
Sebagai sebuah perenungan kepada guru, sudahkah selama ini kita menjalankan amanah sebagai pendidik yang sadar dan berbuat sesuai dengan panggilannya serta tanggungjawab sebagai tenaga pendidik ?


[1] Indra Djati Sidi, Menuju Masyarakat Belajar Menggagas Paradigma Baru Pendidikan, (Jakarta: Paramadina, 2001) H. 71; Lihat juga, http://www.Kammi.or.id.
[2] Anonymous, Madrasah Aliyah Kejuruan Arah dan Prospek Pengembangan, (Jakarta: Dirjen Kelembagaan Agama Islam: 2004) hal. 1
[3] Nurhasan, Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia, Kurikulum untuk Abad 21, Indikator Cara Pengukuran dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Mutu Pendidikan, (Jakarta: PT. Sindo, 1994) Hal. 390
[4] Anonymous, http://gurukreatif.wordpress.com/2009/11/06/10-ciri-guru-profesional/
[5] Anonymous, Pedoman Umum Pengelolaan Pembelajaran, (Jakarta: Dirjen Kelembagaan Agama Islam: 2002) hal. 1 - 2

ADA APA DENGAN RSBI/ BI JAMBI (Pondok Meja)


Sejak kemunculannya, trend sekolah (pendidikan) RSBI/ BI (Rintisan Sekolah Berstandar Internasional/ Berstandar Internasional), sekolah nasional plus, dan lain sebagainya, sudah memunculkan kontroversi. Boleh jadi ini, menunjukkan betapa tidak dipahaminya makna pendidikan nasional. Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 pasal 50 ayat 3 tentang pendirian sekolah internasional, memang ada ketentuan yang menetapkan perlunya standar nasional pendidikan dengan tujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan dan sumber daya manusia Indonesia agar dapat bersaing secara global dan internasional.
Pada saat yang sama ada ketentuan agar pemerintah dan pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf  internasional. Pemaknaan ini memunculkan semangat primodialisme, gengsi untuk segera membuat dan membentuk sekolah-sekolah dimaksud, agar tidak ketinggalan dan prestise bagi pemegang kebijakkan di daerah.
Kebijakkan tersebut, menyebabkan muncul “ego/ latah RSBI” pada sekolah-sekolah yang belum memiliki status RSBI. Seluruh sekolah, berkeinginan menjadi RSBI walaupun daya dukung tidak memungkinkan sama sekali (kurikulum, siswa, guru, dan sarana prasarana). Indonesia Corruption Wacth (ICW) mengemukakan konsep RSBI sangat tidak Indonesia. Boleh jadi benar apa yang dikemukakan Prof. Soedijarto yang mengatakan “dalam masyarakat pendidikan muncul rasa rendah diri masyarakat Indonesia (mungkin mental Inlander)”. Mengapa demikian ? Boleh jadi, akibat terlalu lama dibawah cengkeraman penjajah dan boleh jadi juga akibatnya memunculkan budaya ini. Tidak pernah bangkit untuk lebih percaya diri (bangga) mendandani/ menyempurnakan sistem pendidikan yang berbasis Indonesia dan memanfaatkan kearifan lokal, serta bisa jadi, sistem pendidikan yang terlalu mengadopsi sistem pendidikan dari negara penjajah.
Standar RSBI/ BI
Ada beberapa standar yang harus dipenuhi sekolah/madrasah untuk menjadi RSBI/ BI antaranya: a).             Terakreditasi A; b).  Memiliki dana yang cukup; c). Lahan minimal 10 ribu meter persegi; d). Akses jalan mobil ke sekolah; e). Kompetensi kepala sekolah harus minimal S2 dan mampu berbahasa asing aktif (profesional dalam manajemen, kepemimpinan, organisasi, administrasi, dan kewirausahaan); f). Kompetensi guru bidang studi serta menguasai ICT dan bahasa Inggris; g). Pendidikan guru S2/S3 minimal 30%; h). Tersedia sarana memadai berupa: sarana pembelajaran bertaraf TIK di setiap ruang kelas, Laboratorium IPA (Kimia, Fisika, Biologi), Laboratorium komputer, Perpustakaan yang dilengkapi dengan sarana digital sehingga dapat terakses ke sumber pembelajaran bertaraf TIK di seluruh dunia, faslitas olah raga, Internet, ruang multi media, ruang unjuk seni budaya, klinik, Web sekolah, Kultur sekolah kondusif (bersih, bebas asap rokok dan kekerasan, indah, dan rindang); i). Standar kelulusan lebih tinggi (Kurikulum yang digunakan harus dikembangkan (inovasi) agar memenuhi isi Standar Nasional Pendidikan serta adopsi/ adaptasi kurikulum beberapa sekolah dari dalam atau luar negeri yang memiliki keunggulan dan reputasi di forum internasional); j). Menjalin hubungan dengan sekolah di luar negeri (sister school); k) Manajemen sekolah juga harus berstandar ISO 9001:14000.
Tidak kalah pentingnya adalah proses penjaringan siswa harus dengan seleksi ketat melalui tahapan; saringan rapor, ujian akhir sekolah, scholastic aptitude test (SAT), kesehatan fisik, dan wawancara. Siswa harus memiliki kecerdasan yang unggul, meliputi kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual, dan berbakat.
Proses pembelajarannya menerapkan sistem keterbukaan dan demokratis sehingga mampu menumbuhkembangkan kreativitas, inovasi dan daya nalar siswa. Proses pembelajaran juga harus dengan pendekatan multiple Intelegences dengan mengembangkan kemampuan/ kecerdasan yang meliputi: IQ, EQ dan SQ. Bahasa pengantar pembelajaran adalah Bahasa Indonesia dan Bahasa Asing (khususnya Bahasa Inggris), serta menggunakan media pendidikan yang berteknologi tinggi dan dapat menanamkan dan menerapkan nilai, norma, dan etika serta berorientasi pada “Smart and Good”.
Dampak RSBI/ BI
Pembukaan sekolah berlabel RSBI/ BI sudah pasti menimbulkan sifat eksklusif. Kekhas ini akan menimbulkan kesenjangan sosial yang begitu lebar antara siswa yang berada di sekolah RSBI/ BI dan sekolah reguler. Secara sosial, situasi semacam ini jelas sangat tidak menguntungkan dunia pendidikan kita yang harus melahirkan anak-anak masa depan yang memiliki kecerdasan, baik secara intelektual, spiritual, emosional, maupun sosial.
Selain dari pada itu, pendirian RSBI/ BI memberikan kesan terjadi privatisasi pendidikan. Artinya pemerintah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke stackholder (pasar). Akibatnya, sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Imbasnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.
Apakah pendidikan berkualitas memang mahal ? Pada hal setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan; setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya, (pasal 31 UUD 1945). Mungkin sekolah harus mengutamakan siswa miskin di daerah masing-masing.
Ide
Mencermati hal-hal tersebut di atas, sudah siapkan RSBI/ BI Pondok Meja ? Kalau kita mau jujur, RSBI/ BI Pondok Meja masih jauh dari standar yang sudah ditetapkan. Mungkin benar apa yang dikatakan peneliti senior ICW, Ade Irawan, hadirnya RSBI lebih diawali hanya untuk kepentingan proyek. Karena RSBI adalah proyek, dan pasti akan berhenti jika uangnya habis. Untuk itu, alangkah lebih bijak, arif dan mari bersama-sama mengevaluasi keberadaan sekolah ini. Sudahkah memenuhi standar sebagaimana tersebut di atas? Dalam memandang program pemerintah ini juga banyak mengundang pro dan kontra baik di kalangan pendidikan maupun masyarakat.
Menilik pembangunan dengan menghamburkan dana yang sangat fantastis sebesar Rp 43 miliar, ditambah subsidi dana dalam satu tahunnya untuk satu orang anak mendapatkan Rp 60 juta. Artinya dalam tiga tahun sekitar Rp 24 miliar APBD akan tersedot untuk biaya anak-anak ini ditambah lagi dengan status sekolah yang tidak jelas. Mungkin ada baiknya ditunda dahulu pengoperasian sekolah ini, hingga betul-betul siap seperti yang dipersyaratkan. Siswa yang sudah terlanjur terjaring, limpahkan ke sekolah yang telah terakreditasi A dan berlabel RSBI. Lebih melengkapi sarana prasarana sekolah yang telah mendapat sertifikat RSBI/ BI.
Kedepan siswa yang bersekolah di RSBI berbiaya tinggi ini dengan doktrin globalisasi lewat bahasa pengantar berlabel internasional, perlu diberikan nilai-nilai kearifan lokal yang langsung bersentuhan dengan akhlak dan keluhuran budi. Karena menurut Suyanto dalam Nurkolis (2002), program RSBI di Indonesia secara pedagogis menyesatkan, bahkan ada yang telah memasuki wilayah malpraktik dan akan merugikan pendidikan kita dalam jangka panjang. Kelas-kelas unggulan diciptakan dengan cara mengelompokkan siswa menurut kemampuan akademisnya tanpa didasari filosofi yang benar. Pengelompokan siswa ke dalam kelas-kelas menurut kemampuan akademis tidak sesuai dengan hakikat kehidupan di masyarakat.
Jika melihat berbagai negara lain, pembaharuan pendidikan nasionalnya bukanlah untuk menjadi bertaraf internasional, melainkan untuk menjadikan pendidikan nasional yang mutunya dapat bersaing dengan negara-negara lain. Malaysia akan menghapus bahasa pengantar berlabel internasional dan Jepang melarang penggunaan bahasa berlabel internasional digunakan di kelas dan media Koran. Mungkin kita dapat bercermin pada kedua negara tersebut, yang sangat bangga dengan bahasa bangsa dan negaranya.